Monday, November 27, 2006
Ram Punjabi: Rakhee Lentera Hidup Saya!
Malam ini Tuan dan Nyonya Punjabi melangkahkan kaki keluar dari penthouse mereka yang supermahal dan supernorak.
“Acaaa...Rakheee...Kita jadi terlambat kan ke acara Piala Citra. Ini gara-gara kamu sibuk sasak rambut aaaa....”
“Acaaa...Tapi kalau tidak disasak kan lepek. Saya kan sudah hampir botak aaaa...” Jawab Rakhee sambil menggelengkan kepalanya. Sambil menggeleng-gelengkan kepala mereka memasuki mobil mewah mereka yang nangkring di depan lobi hotel.
“Acaaa...Supir, bawa kita cepat-cepat, aaaa...Ini sudah terlambat!”
Tanpa menyahut supir itu menjalankan mobil. Namun, bukannya ke tempat penyerahan Piala Citra, mobil tersebut malah berbelok ke jalanan sunyi. Berjalan kencang sampai akhirnya tiba di sebuah tempat sepi dengan sebuah rumah besar yang terletak di antara tebing-tebing.
“Acaaa....ini di manaa...aa...?” Tanya Rakhee cemas sambil memegangi rambutnya, “kita harus ke Piala Citraaa...aaaa...sudah sasak capek-capek.”
Sekali lagi Si Supir tidak menyahut, ia justru membalikkan badannya menghadap mereka, lalu membenturkan kepala keduanya satu sama lain. Kepala Rakhee yang sekeras tembok akibat sasakan secara teratur selama bertahun-tahun meninggalkan benjolan ungu kebiruan sebesar telur itik di kening Raam. Mereka pun pingsan.
Ketika sadar, mereka menemukan diri mereka terduduk di sebuah sofa usang penuh kutu dan debu, di tengah sebuah ruangan yang remang-remang.
“Hatsyiii....Acaaaa....Banyak debu aaa..aaa...Nempel di make up saya...” Rewel Rakhee...
“Acaaa...Kamu cerewet aaa...aaa ...Ini rambut saya sudah penuh kutu, sampai bulu-bulu tangan, kaki, sama dada saya aaa...aaa...” Raam balas merengek.
“Makanya, di-Brazilian Wax, dong!” Sebuah suara tiba-tiba terdengar.
Kedua Punjabi terkejut dan mengangkat kepala mereka. Di depan mereka berdiri sepuluh orang yang dibayangi sinar lampu temaram. Yap, merekalah gerombolan Sastrawan Jahat.
“Kalian di bawa ke sini atas kejahatan yang telah kalian lakukan.” Pendekar Air Mata Menghunjam membuka suara, “kejahatan atas perbuatan kalian terhadap siaran televisi di Indonesia.”
“Isinya cuma mata melotot!” Kata Nanas Homo.
“Orang teriak-teriak!” Gadis Berpedang Dari Bukit Imagure menyahut.
“Sama cerita nggak mutu!” Ki Jambang Masygul menimpali.
“ABCDEF!” Seru Tukang Kredit Gamis nggak maksud.
“Pokoknya kalian harus dihukum,” Jenggot Sakti dari Bukit Tian-Shan berkata, “hukumannya adalah kalian harus berlari menelusuri terowongan yang gelap dan harus keluar dengan selamat.”
“Tidak boleh ada penerangan, kecuali dari Rakhee.”
Gerombolan Sastrawan Jahat segera mengangkat kedua Punjabi ke mulut gua.
“Kalo kalian nggak pengen mati di sini, lari!”
“Tapi sebelumnya...” Srikandi Bulu Jambon mengambil korek dan menyalakan api di rambut megalomannya Rakhee.
“Kalo pengen Rakhee selamat, bawa dia lari sampe ujung terowongan!”
Maka Raam pun mengangkat Rakhee dan berlari memasuki terowongan, tanpa mereka sadari di sepanjang terowongan sudah dipasangi kamera night vision, mikrofon, dan speaker sehingga Gerombolan Sastrawan Jahat bisa memantau mereka.
Baru beberapa puluh meter nafas Raam sudah tersengal-sengal karena rambut Rakhee yang sekeras beton menambah berat beberapa kilogram, selain itu Rakhee sibuk meronta-ronta sambil menjerit-jerit.
“Acaaa...!!! Acaaaa....!!! Rambut saya...aaa...sudah mahal-mahal supaya bisa keliatan seperti Lion King aaa..aaa...!!!”
“Acaaa...kayanya saya memang harus ikut olahraga aa...aaa...” Raam tertatih-tatih, “kamu berat sekali, itu semua duit kita larinya ke rambut kamu.”
“Ayo, jangan lelet! Ntar keburu istri lu gosong!!!” terdengar suara dari mikrofon.
“Acaaa...saya tidak kuat. Saya bayar kamu saja. Mintanya apa? Mau main di sinetron saya?”
“Enak aja! Lu kate gue mau? Lagian kamera sinetron lu jelek, tiap kali di-zoom, jerawat pemainnya selalu keliatan.”
“Kagak lagi,” sahut suara yang lain, “make up-nya ketebelan, jadi kalo di-zoom permukaan kulitnya kayak tembok. Apalagi kalo keringetan, ampe luntur-luntur gitu. Hihi...”
“Acaaa...Atau kamu mau Piala Citra? Saya bisa beliin, loh. Tapi bukan emas beneran.”
“Citra... Citra! Gue udah make! Lulur Citra Green Tea dengan khasiat teh hijau sebagai antioksidan bagi kulit yang lelah dan kusam!”
“Ogah, la yaw! Lari, sana!”
Raam pun berlari lagi, sementara itu rambut Rakhee sudah terbakar habis. Api mulai membakar kulit kepalanya, sebentar lagi bakalan ke kulit mukanya.
Raam ngos-ngosan, badannya sudah banjir keringat, tapi terowongannya nggak selesai-selesai. Kulit muka Rakhee mulai meleleh dan mengeluarkan bau seperti ember yang dibakar.
“Acaa...Rakhee...Kamu sudah saya bilang jangan terlalu banyak operasi plastik, itu lelehannya kena jas mahal sayaaa...aaa...”
“Acaa...hhhmmmfff..ggrrffwwlll....” Omongan Rakhee udah nggak jelas karena mulutnya juga mulai meleleh.
Dalam beberapa menit saja kepala Rakhee sudah meleleh dan badannya juga mulai terbakar, kali ini mengeluarkan bau seperti sedotan gosong. Raam terus berlari dengan keringat bercucuran seperti air bah. Ia kemudian melihat seberkas sinar di ujung terowongan. Pintu keluar! Makin dekat, sinar itu makin jelas, dan itu memang ujung terowongan. Lari Raam pun semakin kencang.
Raam berlari seolah sedang menyaingi The Flash, ia melempar tubuh Rakhee ke belakang. Dia lari sampai ujung trowongan.
“Horeee....!!! Acaaa...aaaAAAAAAAAAAAHHH.....!!!!!”
Ternyata ujung terowongan itu menuju sebuah jurang kecil. Raam pun terjun bebas dengan tidak anggunnya.
Blugh! Raam terjatuh ke dalam sebuah panci besar berisi beras, kunyit, lada, kapulaga, santan, dan bubuk cabe. Ia megap-megap ingin memanjat keluar panci tersebut, tapi berasnya terlalu licin oleh santan sehingga ia selalu terjatuh kembali. Kemudian ia terbelalak walaupun matanya sudah berair karena bubuk cabe dan lada karena melihat selembar adonan roti raksasa menyelimuti mulut panci.
Raam berteriak, namun segera tersumpal oleh adonan roti itu, dan panci pun dimasukkan ke oven untuk dimasak menjadi biryani.*
* Untuk porsi 50 orang. Hati-hati tersedak rambut dan bulu-bulu.
Wednesday, November 15, 2006
Lintah
Oleh Ki Jambang Masygul
Ini bukan meniru cerpen “Lintah” karya Djenar Maesa Ayu. Cerpennya memang oke, sayang penulisnya patut dibasmi. Tapi kita tidak akan membasmi Djenar kali ini. Belum saatnya. Ngomong-ngomong soal Djenar, harus kita akui bersama bahwa writer slash celebrity slash whore yang satu itu memang seksi. Banget, malah. Nah, tokoh yang akan kita bunuh kali ini sangat gemar akan wanita-wanita asoy. Dia akan melakukan apa saja demi mendapatkan mereka, termasuk dengan mengajar mengaji mulai tengah malam hingga subuh tiba.
Mari, kita rayakan kematian Rhoma Irama.
Kisah dimulai ketika saya datang ke studio Soneta Group untuk menculiknya. Ketika saya datang dia sedang asyik menyetem gitar. Saya masuk dan berteriak, “Ane mau nyulik Rhoma Irama. Siapa yang keberatan?” Seperti yang sudah direncakan, tidak ada satu pun anggota Grup Soneta yang mengangkat tangan. Bang Rhoma memandangi mereka satu per satu, heran karena tak ada yang membelanya. Maka saya bilang, “Ah, nggak usah heran, Bang Haji. Selama ini di Grup Soneta yang dikenal sebagai selebriti kan ente doang. Ente sok dahsyat sih, ampe anggota-anggota Soneta yang lain diabaikan status selebritinya, bahkan di dunia dangdut yang sok meriah sendiri. Di film-film, selalu ente yang jadi jagoan. Yang berdiri paling depan dalam menyampaikan nada dan dakwah juga cuman situ. Yang lain selalu ketutupan bayang-bayang kebesaran Haji Rhoma Irama. Saya datang ke sini juga karena salah satu anggota Grup Soneta ngirim surat ke Sastrawan Jahat, minta supaya ente dibunuh aje. Udah yuk, Bang, ikut aye sekarang.”
Rhoma Irama bangkit dengan gagahnya. Dia buka baju, memamerkan bulu dadanya yang bergoyang ditiup AC. “Ke sini lu kalo berani!” tantangnya. Saya berjalan mendekat. Bang Rhoma membelalak. Ke arah saya dia berlari gesit, meskipun pernah kena stroke. Saya nggak mau kalah dong. Saya keluarkan pistol imut kesayangan saya dan langsung saya tembak tempurung lututnya. “AAAAAAAAAAH,” teriak Bang Rhoma. Saya ambil sapu tangan yang sudah dibasahi chloroform dari dalam kantong celana, kemudian saya bekap hidungnya sampai dia tak sadarkan diri.
“Nih, Dek, biar kagak susah ngebawanye.” Salah seorang personel Soneta memberi saya gerobak sorong. Dia juga membantu saya mengangkut tubuh Bang Haji hingga ke mobil. Lantas kendaraan saya kemudikan dengan santai ke markas Gerombolan Sastrawan Jahat yang berada di tengah-tengah komplek perumahan Kenanga Biru.
Sesampainya di garasi, saya buka celana Rhoma Irama biar telanjang sekalian, lalu saya ikat tubuhnya dengan plester superlengket sampai dia hanya bisa menggeliat-geliat. Efek obat bius mulai hilang. Segera saya sumbat mulutnya dengan dildo yang meniru penis Jeff Palmer supaya dia tidak berteriak histeris. Kan repot kalau tetangga-tetangga sampai mendengar teriakan di siang bolong. Sebagai sentuhan terakhir, saya ambil pisau silet kemudian dengan laknat saya cukur jambang Bang Rhoma yang aduhai lebatnya sampai terlihat masygul.
Tukang Kredit Gamis yang sudah menanti-nanti kedatangan saya membantu mengangkatkan tubuh Bang Haji ke dalam, langsung ke ruang sidang Dewan Sastrawan Jahat. Di sana sudah berkumpul semua anggota Sastrawan Jahat kecuali Kyai Asbak Berlumut dan Srikandi Bulu Jambon yang memang berdomisili di daerah lain. Laki-laki Berkuteks Darah, Nanas Homo, Gadis Berpedang dari Bukit Imagure, Si Jenggot Sakti dari Gunung Tian-Shan, dan Pendekar Air Mata Menghunjam duduk melingkar di sofa menghadapi sebuah akurium besar. Akuarium besar itu khusus saya pesan untuk menghabisi Rhoma Irama agar kematiannya tampak elegan. Di dalamnya tampaklah lintah-lintah berbagai ukuran dan warna (rata-rata sih item sama coklat) sedang menempel di kaca atau berenang-renang gaya geal-geol. Lintah-lintah ini saya beli dari seorang agen binatang penghisap darah di Pasar Siksa Segala, pasar langganan gerombolan Sastrawan Jahat.
“Cepat amat lu balik?” tanya Pendekar Air Mata Menghunjam. “Kami mau nonton DVD dulu nih.”
“Nyindir nih ye. Tenanglah, Pendekar Air Mata Menghunjam, penantianmu bakal setimpal dengan tontonan yang akan segera kau saksikan. Tolong, kalian bukakan penutup akuarium itu. Laki-laki Berkuteks Darah, jangan ngutekin kuku melulu dong. Bantu aku mengangkat Bang Rhoma.”
Setelah yang lain membuka tutup akuarium, Tukang Kredit Gamis dan Laki-laki Berkuteks Darah membantu saya mengangkat tubuh Bang Rhoma dan menceburkannya ke dalam akuarium.
“Anjrit, airnya nyiprat ke lantai tuh. Lintah-lintahnya ada yang ikut jatoh!” pekik Gadis Berpedang dari Bukit Imagure yang agak-agak geli sama lintah, kecuali lintah suaminya, hihihi. Peace, Gadis Berpedang dari Bukit Imagure, jangan tebas jambangku yang telanjur masygul ini.
Dengan pinset saya masukkan kembali belasan lintah yang tercecer di lantai. Tutup akuarium dipasang kembali. Kami semua duduk manis di sofa, menyaksikan tubuh Rhoma Irama bergoyang-goyang di dalam akuarium. Pantatnya tampak sedang ngebor a la Inul Daratista. Lintah-lintah mulai mengerumuni tubuhnya yang telanjang. Pendekar Air Mata Menghunjam membagikan pop corn buat kami semua. Nanas Homo bangkit dari sofa lantas mulai berjalan mengelilingi akuarium.
“Ih, ada yang nempel di kontolnya lho. Hiii, kayaknya mau masuk lewat pucuknya tuh. Waaa, lubang silitnya penuh. Kayaknya ada lima puluhan ekor deh di situ.”
Tentunya tak hanya di sekitar daerah-daerah cabul Bang Rhoma binatang-binatang penghisap darah itu bersantap siang. Mereka mengerumuni badannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ada yang masuk ke dalam lubang hidung, ada yang masuk lewat telinga. Tak ada yang satupun yang lepas meski gerakan ngebor Rhoma Irama makin menggila.
Saya perhatikan ikatan di sekujur tubuh korban kami mulai mengendur. Plesternya pasti tidak tahan air. Satu per satu kami berdiri. Bang Haji berhasil melepaskan seluruh ikatan di badannya. Ia mendorong tutup akuarium hingga tergeser dan jatuh pecah berkeping-keping di lantai. Ia berdiri, tubuh berkerubung lintah. Ia cabut dildo dari mulutnya lalu mulai berteriak. "Huanjiiing!" katanya. Tapi dia tak bertahan lama, karena saya ambil pistol mungil saya lalu saya tembak buah zakarnya. Rhoma Irama memengangi selangkangannya. Ia terduduk di dalam akuarium. Lintah-lintah terus mengerumuninya.
“Hhh, bosen nih,” ujar Laki-laki Berkuteks Darah. “Jalan yuk.”
“Jalan ke mana?”
“Ke mall aja. Ngadem,” usul Tukang Kredit Gamis.
“Terus Bang Rhoma?” tanya Gadis Berpedang dari Bukit Imagure.
“Udah biarin aja dia di sini dulu. Kasihan tuh lintah-lintahnya masih laper.”
“Oh ya udah. Yuk deh. Ntar di mall aku traktir es krim.”
“Asyiiik!”
Tuesday, November 14, 2006
Punjabi dan Degradasi Moral Pertelevisian Indonesia
Oleh: Pendekar Air Mata Menghunjam
Apa moral yang kita dapat setelah menonton sinetron yang berjamuran di televisi Indonesia?
1. Tuhan membenci kaum gay
2. Para kyai memiliki profesi sampingan sebagai dukun/mantri kesehatan yang secara ajaib mampu menyembuhkan apapun. Apapun! Mulai dari homoseksualitas sampai dengan penyakit lepra.
3. Ibu tiri dan nyonya-nyonya kaya akan awet abadi oleh hairspray dan eyeshadow supertebal
4. Bantuan Tuhan akan datang kepada seorang lemah berparas jelita, tidak pernah kepada seorang lemah berparas pas-pasan.
5. Trend pembicaraan terbaru yang memelototkan mata dan menaikkan volume suara sampai beberapa desibel.
Inikah Indonesia yang selalu ingin kita lihat? Apa yang sebenarnya ingin disampaikan? Kenapa orang mau menontonnya? Jawabannya: karena nggak ada tontonan lain di televisi. Daripada mati garing lebih bai nonton acara tv yang nggak mutu. Tampaknya perlu dibuat peribahasa yang baru "Orang bijak lebih memilih mati garing daripada nonton sinetron".
Mungkin cukup benar apabila kita menuduh keluarga Punjabi sebagai pihak yang bertanggung jawab ata keterbelakangan mutu tayangan-tayangan di televisi kita. Mungkin pada awalnya mereka bercita-cita luhur ingin membuat tayangan yang dapat menyaingi Bollywood, tapi sayangnya gagal. Setidaknya dengan mengesampingkan tarian dan nyanyian, para aktor dan aktris Bollywood itu pada bisa akting. Nggak sekedar jual tampang yang baru muncul di satu atau dua iklan. Bukan iklan yang bagus pula.
Nggak ada hikmah yang bisa diambil selain menjadikan kita sebagai masyarakat yang superfisial dan hanya melihat di permukaan kulit yang indo tanpa peduli apa otaknya emang berisi otak atau sekedar kotoran. Kasian sekali ya masyarakat kita, setiap hari, siang dan malam selalu dicuci otak dengan tayangan yang nggak bermutu. Wajar aja kalo kita nggak pernah maju.
Ram dan Rakhee! Paling nggak kalian harus mikir selera masyarakat, jangan dipaksa buat ngikutin selera kalian yang supernorak itu ! (Kamar mandi bermotif macan tutul? Tolong dong! Nggak bangeeettt...!!)
NB: saya sebenarnya cukup kagum dengan Rakhee. Dia setiap hari mengalami bad hair day tapi tetap pe-de. Buat yang satu ini, salut deh.
Friday, November 10, 2006
Nanas Homo Vs Andrei Aksana
Posting pertama dari Nanas Homo ini akan mengulas Andrei Aksana secara umum. Ulasan-ulasan yang lebih rinci akan di-post secara berkala oleh Nanas Homo hingga ia bosan dan memutuskan untuk membunuhnya dengan satu kilo diazepam karena telah tiada tahan dengan apa-apa yang dibuatnya.
Saya mendengar namanya pertama kali di tengah malam dingin saat sedang makan dengan dua orang teman di pinggir jalan. Jujur, saat itu saya tidak mengerti sama sekali mengapa salah seorang teman saya sangat membenci pria ini. Karena ia makin menggila menyumpahinya, maka saya minta ia meminjamkan saja salah satu buku yang ditulis pria itu. Maka, keesokan malamnya, ia mendatangi saya di hotel, membawa sebuah buku dengan gambar perut six pack laki-laki di sampul depan (sepertinya si cover designer sibuk hunting ke gym seputar Jakarta untuk mendapatkan the perfect six pack untuk buku dari the songong author, Andrei Aksana).
Novel Andrei yang dipinjamkan pertama kali pada saya berjudul Lelaki Terindah. Oh, Saudara-saudara, andaikan wajah saya kala pertama membaca buku itu bisa dipotret, ingin rasanya saya pajang di blog ini. Saya terdiam menatap kovernya yang memang membuat saya ngiler. Namun saya buka halaman pertamanya, dan... oh my Crotch! Tulisan macam apa ini? Gatal-gatal selangkangan dan otak saya dibuatnya.
*menarik nafas dalam*
Saya bawa Lelaki Terindah ikut makan malam di Bedhot, sebuah gallery restaurant di Jl. Sosrowijayan tempat saya membaca sewaktu-waktu. Selagi jalan menuju Bedhot, teman saya sempat berujar, ”Ngapain lo bawa-bawa tu buku? Kok nggak ditinggal di hotel aja sih? Jangan sampe keliatan orang ya sampulnya, malu gue!” Begitulah, Saudara-saudara, bahkan teman saya ikut-ikutan malu melihat saya membawa buku itu, padahal saya ingin membacanya demi tujuan yang mulia.
Sesampainya di Bedhot, sekilas-sekilas saya membaca Lelaki Terindah sambil menunggu Cap Cay dan Pizza. Sambil membaca, tentunya saya dan teman saya juga menggosipi Andrei (senang nggak, Mas, digosipin?). Kabarnya, Lelaki Terindah adalah wujud pengakuannya sebagai seorang gay. Tiada masalah Andrei itu homo, karena saya juga toh Nanas Homo. Yang menjadi masalah kemudian adalah tutur bahasanya dalam menceritakan kisah-kisah cinta (tai kucing)-nya. Cinta-cintaan itu begitu sempurna menjadi tai kucing berlumur madu ketika dituturkan oleh Andrei Aksana. Maaf, tapi begitulah kejujuran sepotong Nanas Homo.
Saya tidak mengerti seleranya yang jauh lebih tidak elegan dan lebih tidak termaafkan daripada saya. Seburuk-buruknya selera saya, Saudara-saudara, saya tidak akan membawa kotak obat sambil melayang (novel master-piss Lelaki Terindah, saat Rafky membawakan kotak obat Valent yang sedang diserang asma). Juga tidak akan membentangkan tangan saya untuk menunjukkan tempat duduk kepada tamu yang datang ke bar saya (Karena Aku Mencintaimu, saat Elena mengajak paksa Jeryn ke tempat hiburan malam).
Andrei memang berasal dari kalangan menengah ke atas. Tidak bisa saya pungkiri dia jauh lebih kaya dari saya (sekaligus lebih kaya monyet). Ia telah lebih dulu terbang ke Thailand, Paris, Amsterdam, London daripada saya yang paling jauh hanya sampai Gunung Kidul. Ia saya maafkan untuk hal itu, mengingat dia memang lebih tua daripada saya dan sudah bisa cari uang sendiri untuk membiayai perjalanan-perjalanannya. Dia juga saya maafkan untuk penggambaran-penggambarannya atas negara-negara yang sudah pernah dia kunjungi. Untuk bagian-bagian itu, dia berhasil menggambarkannya tanpa kata-kata yang berlebihan (tai kucing lumur madu).
Mari lupakan masalah penggambaran negara-negara yang tidak penting dan beralih pada bagaimana dia menuturkan sebuah cerita. Saya agak bosan dengan tema-tema yang ia suguhkan: cinta. Mengapa bosan? Tentu saja saudara-saudara, cobalah buka mata kalian lebar-lebar (ganjal pakai korek jika perlu), sudah berapa ribu kisah tentang cinta yang telah dihasilkan penulis-penulis, pemusik-pemusik, pembuat-pembuat film di Indonesia? Salah satu yang paling jahanam menurut saya ya dia itu. Apa yang salah dengan kisah cinta Andrei Aksana? Kisah-kisah cinta yang dia tawarkan benar-benar berfungsi sebagai ”cinta”, pelicin tai, membuat saya mudah buang air besar dan menggelontorkan lemak (padahal Nanas sudah kurus. Kasihan ya Nanas makin kurus).
Oke, sekarang saya serius. Lupakan pelicin tai. Seorang teman pernah bilang, ”Jika saja Andrei Aksana lahir di zaman kakek-kakeknya (Sanusi dan Armijn Pane), mungkin khalayak sastra masih bisa menerima karya-karyanya, asal siap-siap saja dirajam Chairil Anwar.” Saya setuju dengan pendapat teman saya itu. Gaya bahasa yang ditawarkan Andrei sama sekali basi untuk digunakan di zaman ini. Kenapa dia harus mendayu-dayu dalam menceritakan kisah-kisahnya? Jadi gay kan tidak harus kemayu, Mas? Saya saja, Nanas Homo, lebih macho daripada Anda, padahal saya hermafrodit.
Jika saya diberi kesempatan oleh Gramedia Pustaka Utama untuk turut meramaikan dunia pengeditan buku-buku Andrei Aksana, saya akan dengan senang hati serta jahanam memotong sana sini kata-kata yang tidak penting. Atau kalau perlu, paragraf-paragraf atau bab-bab yang tidak penting dihapus sekalian. Dan tentunya, saya tidak akan menyarankan dia untuk menyertakan soundtrack yang membuat saya ingin segera menjebloskannya ke kandang babi. Lebih baik lagi kalau karya-karyanya tidak usah diterbitkan, melainkan ramai-ramai naskahnya kita bakar (yang nulis juga boleh dibakar). Saya serius, Saudara-saudara, jika saya dibiarkan mengedit naskahnya, sebagai editor saya pingsan dahulu tujuh hari tujuh malam dan minta diinfus oleh dokter di rumah sakit ternama agar mendapat kekuatan lahir batin sebelum bekerja. Kemudian, dari beratus-ratus halaman, saya hanya akan menyisakan lima belas hingga dua puluh halaman akibat terlampau mubazirnya kalimat-kalimat yang diciptakan oleh Andrei Aksana.
Hal berikutnya yang mengganggu selangkangan dan otak saya adalah pemilihan gambar untuk sampul buku-bukunya. Gambar yang sungguh-sungguh membuat saya meringis adalah gambar Andrei Aksana sendiri. Untuk apa dia dipajang di sana? Bukankah nampak makin songong? Begini, Saudara-saudara, tiada masalah kalau saja dia seganteng Channing Tatum atau Jay Hernandez yang wajahnya tidak harus di-Adobe-Photoshop dulu sebelum di-layout (terimalah kenyataan, Andrei, bahwasanya wajahmu itu memang bolong-bolong). Apakah Andrei tidak kasihan pada orang yang merancang sampulnya, yang harus menghilangkan bopeng-bopeng yang sedemikian berhamburan? Selain gambar-gambar narsisnya yang teramat mengganggu, foto perempuan-perempuan yang dijadikannya sampul depan untuk mendampingi dirinya nampak sekali di-download acakadut dari internet. Perempuan-perempuan cantik, gaun indah, sampul dari kertas mahal seakan menunjukkan bahwa dia menjanjikan sesuatu yang wah di dalam novelnya. Tapi kemudian, apa yang saya dapatkan? Apalagi kalau bukan penggelontor lemak berwujud tai kucing lumur madu.
*menahan muntah*
Lantas, izinkan saya untuk mencaci-maki masalah penokohan dalam tiga buku Andrei yang telah saya baca (Pretty Prita, Lelaki Terindah, dan Karena Aku Mencintaimu). Jika saya boleh mengajukan sebuah pertanyaan langsung padanya, saya ingin bertanya seberapa tergila-gilanya seorang Andrei pada sinetron-sinetron Indonesia. Penggambaran tokoh-tokohnya tidak jauh beda dengan kebanyakan tokoh-tokoh yang hadir di dunia sinetron Indonesia. Tampan, cantik, kaya, pandai(?), nyaris sempurna. Untung saja ia menyelamatkan tokohnya dengan menyandangkan penyakit asma (Rafky) dan kemandulan (Elena). Dan, Pretty Prita itu, kok Hot Chick sekali ya? Untung bukunya tertinggal entah di mana hingga saya tidak perlu membacanya sampai habis. Benar-benar merusak image metro-pop di mata saya.
Yang paling saya benci dari semuanya adalah keserakahannya dalam menulis. Bagaimana bisa dia tidak memberikan ruang bagi pembacanya untuk berimajinasi? Apakah dia tidak pernah diajari ibunya untuk bertoleransi pada orang lain? Apakah ia tidak mengenal istilah understatement dalam mengarang? Yakni menghemat deskripsi demi mengarahkan pembaca pada sebuah gambaran utuh. Berakali-kali saya melempar bukunya ke lantai kamar mandi selagi saya pup sambil membaca novelnya karena saya tidak juga dibiarkan berimajinasi (dalam novel Andrei Aksana, kalimat barusan akan berbunyi: Berkali-kali diriku dengan segenap tenaga mencampakkan buku bersampul hitam bergambar perut yang rajin ditempa latihan di ruang fitness itu ke lantai kamar mandi yang terbuat dari pualam kelas dunia selagi saya mengeluarkan kotoran tidak beradab dari dubur saya sembari membaca novelnya karena tidak juga diberi sebuah ruang yang luas dan mewah untuk berimajinasi).
Bukan saya iri pada Andrei karena tidak bisa membuat master-piss atau tidak pernah jalan-jalan ke luar negeri lantas saya mencaci-makinya. Bukan. Sungguh, sungguh bukan begitu. Atas nama nanas sedunia saya bersumpah, saya melakukannya karena memang harus ada yang melakukannya atas nama kebenaran. Karena tidak ada nanas lain yang mau melakukannya, maka sayalah yang mengambil inisiatif untuk memulai pekerjaan menyiksa batin ini. Ketahuilah, tidak mudah bagi saya untuk meluangkan waktu demi membaca buku-buku Andrei Aksana. Tidak mudah juga bagi saya untuk membanting bukunya ke lantai kamar mandi mengingat gerakan tersebut dapat mengganggu konsentrasi kegiatan per-pup-an saya. Juga, sangat tidak mudah untuk menggigiti sebuah kartu pembatas buku bergambar sang pengarang di bawah sebuah chandelier mewah (dan betapa saya sangat berharap chandelier itu jatuh menimpanya) hinga menjadi sobekan-sobekan kecil.
Demikian tulisan pertama saya mengenai Andrei Aksana. Untuk pembaca blog ini, yang tentunya haus darah serta kekejian, maaf saya belum bisa membunuhnya. Sebagai target nomor satu, Andrei Aksana harus mati perlahan-lahan. Kalau perlu mati benaran agar akal sehat kita semua selamat sentausa. Nantikan kematian Andrei Aksana dalam tulisan Nanas Homo suatu saat nanti. Nanas berjanji.
Dengan penuh cinta, peluk, dan cium ceprat-ceprot,
Nanas Homo
Thursday, November 09, 2006
Sastrawan Jahat, untuk Indonesia Yang Lebih Baik
Oleh: Pendekar Air Mata Menghunjam
Berikut ini daftar orang-orang yang menyebabkan kemerosotan bangsa Indonesia sehingga layak dianiaya hingga tewas:
1. Andrei Aksana (Saya yakin dia anak angkat, bukan cucunya Sanusi & Armijn Pane!)
2. Rhoma Irama (menerima panggilan mengajar ngaji, termasuk tengah malam)
3. Ram & Rakhee Punjabi (bad hair + bad taste = bad sinetrons)
4. Titi Said (sudah waktunya disensor)
5. Habib Riziq (You're not a celebrity, but we hate you unanimously, anyway.)
6. Ian Kasela (No comment!)
7. Dewi Persik & Saiful Jamil (cewek tolol + homo tolol = tolol kuadrat. NB: Kami bukan homofobik, cuma nggak suka homo berselera buruk aja.)
8. Julia Perez dan adiknya yang suka ngejilatin gigi tonggosnya
9. Ayu, Sarah & Rahma Azhari
10. Iip Wijayanto (karena 99% udah nggak perjaka)
11. Shandy Aulia (no brain, bad acting, merusak pemandangan)
12. Marshanda (lihat no. 11)
13. Indra Bekti (for popping up everywhere for no reason. We have 28 ways to kill you infamously.)
14. Oki Lukman (just plain annoying)
15. Djenar Maesa Ayu (Mereka Bilang Kamu Monyet!)
16. Nafa Urbach (for trying to be Britney Spears slash Paris Hilton)
17. Trio "Virgin" (entahlah,there's just something wrong with them)
18. Catherine Wilson (lihat no. 11)
19. Ahmad Dhani (Sori ye, tapi sesudah album Bintang Lima lu udah nggak wuks!)
20. Ruhut Sitompul dan kuncir jeleknya
21. Jusuf Kalla (for being who he is)
22. Ressa Herlambang (banyak gaya)
23. Roger Danuarta (bad hair for a hairdresser's son)
24. Annisa Bahar (yang gagal jadi lonte)
25. VJ Rianti (lihat no. 11)
26. Vena Melinda (Tante, kamu bukan Cher. Bulu-bulumu nggak oke.)
27. Tina Toon (dihamili Joshua sebelum lulus SD, jangan-jangan)
28. Joshua (menghamili Tina Toon sebelum lulus SD)
29. The Cendanas (no further reasons)
30. Megawati (Bikin malu nama Bapak kamu, nduk!)
31. Agnes Monica (We've had enough of you everywhere!)
32. Nadine Chandrawinata (dunia akan mengerti alasannya)
33. Krisdayanti (lihat no. 11)
34. Farhad Abbas (Huekkkk!)
35. Benigno (for being gay with no taste. Shame on you! Again, we're not homophobic, but this particular guy just got on our nerves!)
36. Krishna Mukti (lihat no. 35)
37. Thomas Djorghi (lihat no. 35)
38. Ariel Peterpan (Terlalu banyak benih yang kau sebar di Indonesia. Sok laku kamu!)
39. Luna Maya (hampir termaafkan karena kakaknya ganteng, tapi Gerombolan Sastrawan Jahat memutuskan dia bersalah)
40. Ratu (siapa suruh selera sama Ahmad Dhani)
41. Thomas Nawilis (sutradara muda berbahaya!)
42. Nagita Slavina dan suara cemprengnya
Any more?
Atas Tercabiknya Akal Sehat
Kami memandang bahwa selebriti-selebriti Indonesia, melalui kehidupan pribadi mereka yang terjebler lewat infotaiment maupun lewat kebodohan-kebodohan mereka yang terekam buat penikmat sinetron, telah mencabik ketentraman dan kedamaian hati nurani orang-orang Indonesia yang masih (ingin) waras. Maka dari itu, kita perlu sebuah tempat bermain, tempat menggebyarkan imajinasi tersadis. Di sini, kita memegang peraturan, dan para selebriti Indonesia yang jadi taruhannya. Permainannya bernama: Bunuh Selebriti Tak Berguna. Silakan pasang taruhan. Sebutkan nama-nama selebriti Indonesia yang ingin Anda lihat berlumuran darah, alasan-alasannya, bagaimana cara menghabisinya, dan kami akan menuliskan kisahnya untuk Anda. Atau, lebih baik lagi, kirimkan kisah pembunuhan selebriti versi Anda dan kirimkan ke sastrawan_jahat@yahoo.com (jangan lupa cantumkan nama samaran). Bila sesuai selera Dewan Sastrawan Jahat, tulisan Anda akan dimuat di blog ini.
Permainan dimulai.