Monday, November 27, 2006

Ram Punjabi: Rakhee Lentera Hidup Saya!

Oleh: Pendekar Air Mata Menghunjam


Malam ini Tuan dan Nyonya Punjabi melangkahkan kaki keluar dari penthouse mereka yang supermahal dan supernorak.
“Acaaa...Rakheee...Kita jadi terlambat kan ke acara Piala Citra. Ini gara-gara kamu sibuk sasak rambut aaaa....”
“Acaaa...Tapi kalau tidak disasak kan lepek. Saya kan sudah hampir botak aaaa...” Jawab Rakhee sambil menggelengkan kepalanya. Sambil menggeleng-gelengkan kepala mereka memasuki mobil mewah mereka yang nangkring di depan lobi hotel.
“Acaaa...Supir, bawa kita cepat-cepat, aaaa...Ini sudah terlambat!”
Tanpa menyahut supir itu menjalankan mobil. Namun, bukannya ke tempat penyerahan Piala Citra, mobil tersebut malah berbelok ke jalanan sunyi. Berjalan kencang sampai akhirnya tiba di sebuah tempat sepi dengan sebuah rumah besar yang terletak di antara tebing-tebing.
“Acaaa....ini di manaa...aa...?” Tanya Rakhee cemas sambil memegangi rambutnya, “kita harus ke Piala Citraaa...aaaa...sudah sasak capek-capek.”
Sekali lagi Si Supir tidak menyahut, ia justru membalikkan badannya menghadap mereka, lalu membenturkan kepala keduanya satu sama lain. Kepala Rakhee yang sekeras tembok akibat sasakan secara teratur selama bertahun-tahun meninggalkan benjolan ungu kebiruan sebesar telur itik di kening Raam. Mereka pun pingsan.
Ketika sadar, mereka menemukan diri mereka terduduk di sebuah sofa usang penuh kutu dan debu, di tengah sebuah ruangan yang remang-remang.
“Hatsyiii....Acaaaa....Banyak debu aaa..aaa...Nempel di make up saya...” Rewel Rakhee...
“Acaaa...Kamu cerewet aaa...aaa ...Ini rambut saya sudah penuh kutu, sampai bulu-bulu tangan, kaki, sama dada saya aaa...aaa...” Raam balas merengek.
“Makanya, di-Brazilian Wax, dong!” Sebuah suara tiba-tiba terdengar.
Kedua Punjabi terkejut dan mengangkat kepala mereka. Di depan mereka berdiri sepuluh orang yang dibayangi sinar lampu temaram. Yap, merekalah gerombolan Sastrawan Jahat.
“Kalian di bawa ke sini atas kejahatan yang telah kalian lakukan.” Pendekar Air Mata Menghunjam membuka suara, “kejahatan atas perbuatan kalian terhadap siaran televisi di Indonesia.”
“Isinya cuma mata melotot!” Kata Nanas Homo.
“Orang teriak-teriak!” Gadis Berpedang Dari Bukit Imagure menyahut.
“Sama cerita nggak mutu!” Ki Jambang Masygul menimpali.
“ABCDEF!” Seru Tukang Kredit Gamis nggak maksud.
“Pokoknya kalian harus dihukum,” Jenggot Sakti dari Bukit Tian-Shan berkata, “hukumannya adalah kalian harus berlari menelusuri terowongan yang gelap dan harus keluar dengan selamat.”
“Tidak boleh ada penerangan, kecuali dari Rakhee.”
Gerombolan Sastrawan Jahat segera mengangkat kedua Punjabi ke mulut gua.
“Kalo kalian nggak pengen mati di sini, lari!”
“Tapi sebelumnya...” Srikandi Bulu Jambon mengambil korek dan menyalakan api di rambut megalomannya Rakhee.
“Kalo pengen Rakhee selamat, bawa dia lari sampe ujung terowongan!”
Maka Raam pun mengangkat Rakhee dan berlari memasuki terowongan, tanpa mereka sadari di sepanjang terowongan sudah dipasangi kamera night vision, mikrofon, dan speaker sehingga Gerombolan Sastrawan Jahat bisa memantau mereka.
Baru beberapa puluh meter nafas Raam sudah tersengal-sengal karena rambut Rakhee yang sekeras beton menambah berat beberapa kilogram, selain itu Rakhee sibuk meronta-ronta sambil menjerit-jerit.
“Acaaa...!!! Acaaaa....!!! Rambut saya...aaa...sudah mahal-mahal supaya bisa keliatan seperti Lion King aaa..aaa...!!!”
“Acaaa...kayanya saya memang harus ikut olahraga aa...aaa...” Raam tertatih-tatih, “kamu berat sekali, itu semua duit kita larinya ke rambut kamu.”
“Ayo, jangan lelet! Ntar keburu istri lu gosong!!!” terdengar suara dari mikrofon.
“Acaaa...saya tidak kuat. Saya bayar kamu saja. Mintanya apa? Mau main di sinetron saya?”
“Enak aja! Lu kate gue mau? Lagian kamera sinetron lu jelek, tiap kali di-zoom, jerawat pemainnya selalu keliatan.”
“Kagak lagi,” sahut suara yang lain, “make up-nya ketebelan, jadi kalo di-zoom permukaan kulitnya kayak tembok. Apalagi kalo keringetan, ampe luntur-luntur gitu. Hihi...”
“Acaaa...Atau kamu mau Piala Citra? Saya bisa beliin, loh. Tapi bukan emas beneran.”
“Citra... Citra! Gue udah make! Lulur Citra Green Tea dengan khasiat teh hijau sebagai antioksidan bagi kulit yang lelah dan kusam!”
“Ogah, la yaw! Lari, sana!”
Raam pun berlari lagi, sementara itu rambut Rakhee sudah terbakar habis. Api mulai membakar kulit kepalanya, sebentar lagi bakalan ke kulit mukanya.
Raam ngos-ngosan, badannya sudah banjir keringat, tapi terowongannya nggak selesai-selesai. Kulit muka Rakhee mulai meleleh dan mengeluarkan bau seperti ember yang dibakar.
“Acaa...Rakhee...Kamu sudah saya bilang jangan terlalu banyak operasi plastik, itu lelehannya kena jas mahal sayaaa...aaa...”
“Acaa...hhhmmmfff..ggrrffwwlll....” Omongan Rakhee udah nggak jelas karena mulutnya juga mulai meleleh.
Dalam beberapa menit saja kepala Rakhee sudah meleleh dan badannya juga mulai terbakar, kali ini mengeluarkan bau seperti sedotan gosong. Raam terus berlari dengan keringat bercucuran seperti air bah. Ia kemudian melihat seberkas sinar di ujung terowongan. Pintu keluar! Makin dekat, sinar itu makin jelas, dan itu memang ujung terowongan. Lari Raam pun semakin kencang.
Raam berlari seolah sedang menyaingi The Flash, ia melempar tubuh Rakhee ke belakang. Dia lari sampai ujung trowongan.
“Horeee....!!! Acaaa...aaaAAAAAAAAAAAHHH.....!!!!!”
Ternyata ujung terowongan itu menuju sebuah jurang kecil. Raam pun terjun bebas dengan tidak anggunnya.
Blugh! Raam terjatuh ke dalam sebuah panci besar berisi beras, kunyit, lada, kapulaga, santan, dan bubuk cabe. Ia megap-megap ingin memanjat keluar panci tersebut, tapi berasnya terlalu licin oleh santan sehingga ia selalu terjatuh kembali. Kemudian ia terbelalak walaupun matanya sudah berair karena bubuk cabe dan lada karena melihat selembar adonan roti raksasa menyelimuti mulut panci.
Raam berteriak, namun segera tersumpal oleh adonan roti itu, dan panci pun dimasukkan ke oven untuk dimasak menjadi biryani.*

* Untuk porsi 50 orang. Hati-hati tersedak rambut dan bulu-bulu.

12 comments:

Anonymous said...

-Nanas Homo-

BWAKAKAKKAKAKAKAKAKAKAKAKAKKAKAKAKAKAKKAKAKAKKAKAKAKAKAKAKAKAKAKAKAKAKK!!!!!!!!!!!
Gitu dong, jadi istri yang baek. Mwakakkakakakakakakakakakakakk!!

Serius, Nanas gak bisa berenti ketawa. HUaahhahahaahahhahahahaha

mau dong lilinnya rakhee, di tempat nanas sering mati lampu neh :p

btw, yakin ntu biryani ada yang mo makan? lempar ke kandang babi aja bo, biar babi babi kita sehat sentausa. YIHAAA!!!

Anonymous said...

-Nanas Homo-

again, ecapeeeeee deeeeeeeeeeehhhhh!!!!

Anonymous said...

Kurang kerjaan banget deh kalian.
Mending ngapain kek... tindakan yg riil gitu loh!
Jadi teroris sekalian aja... siapa tau masuk syurga. Amen.

-Teroris Manis-

Anonymous said...

-gadisberpedangdaribukitimaguer-

mwakkakakakkaka mwakkakkakkaka, ikh kari paling tiada enak dalam hidup saya. secara sekarang saya super vegan itu lho.

sudah flush aja panci biryani itu ke wc. yuk ah yuk

Anonymous said...

Duh, kok gak ditanggepin siiiy!
Gimana dong... ditunggu tindakan riilnya!
Saya juga udah muak banget sama para ibu yang rambutnya njulang kayak punuk onta.
Culik aja tuh si rambut punuk-onta.
Tebusannya: Punjabi cs harus berhenti bikin sinetron daripada nyiksa mata pemirsa.


Teroris Manis

Anonymous said...

Nanas Homo

Teroris Manis, lakukan saja apa yang dikau ingin lakukan. Gih kalo mo bunuh mereka, ya monggo...

Anonymous said...

-Tangan Panjang Menjuntai-

Saudara-saudara, sadarlah.. bahwa apa yang saudara lakukan itu sangat-sangat membantu rakyat kecil agar terhindar dari tontonan yang tidak bermutu.. Nasehat saya.. teruskan perjuangan kalian nak.. Doaku harapanku bersama kalian...

Anonymous said...

-Tangan Panjang Menjuntai Gemulai-

Bagaimana tidak. Rakyat kecil khan tak punya pilihan. Kalaulah mereka bisa langganan TV kabel atau sejenisnya, pastilah tayangan lokal telah lama ditinggalkan...

bimosaurus said...

http://raam-punjabi.blogspot.com/

Anonymous said...

ngak mutu banget ceritanya dan tidak lucu!!!!! KURANG KERJAAN!!!!

Reny Payus said...

huahuhauhuahhuah
gila loh... top abis =))

Putri Permata said...

STRESS SMUA. . . . WUAKAKAKAKAKAKAKA