Tuesday, April 15, 2008

Riwayat Hidup (Baru) Ahmad Dhani #2


oleh Nanas Homo

Semalam, Toean Marquis de Sade datang pada saja. Katanja, beliaoe tidak soedi memboenoeh kedji Tuan Ahmad Dhani.

Saja tanjakan, “Mengapa Toean? Apakah Toean berbelas kasih padanja?”

“Bukan, bukan begitu, Anak Homo,” begitoe rupanja beliaoe panggil saja. “Saja terlampau djidjik padanja. Hingga dengan melihatnja akan membikin saja moentah belatoeng saban hari. Dan itoe soenggoeh menjiksa bathin saja.”

“Ah, baiklah kalau begitoe, Toean.”

“Silakan Anak Homo jang menggantikan posisi saja.”


***


Maka saja poelang ke pondok dengan riang hati. Saja pikir harus toenggoe lama baroe bisa boenoeh-boenoeh ini orang. Ternjata seperti perkiraan saja, Toean Sade memang benar-benar moerah hatinja.

Seperti jang diberitahoekan rekan Masygul, dalam episode ini Toean Ahmad Dhani akan mati sebanjak sembilan belas kali. Memilukan, sungguh. Tetapi setelah saya tjek dalam tjatatan acherat, rupanja memang telah tertoelis seperti itoe. Djadi, apa maoe dikata. Saja hanja mendjalankan tugas dari Jang Maha Esa.

Gosip poenja gosip. Rupanja kali ini Toean Ahmad Dhani terlahir sebagai pitiek.

O wow. Abrakadabra pemirsa. Tahoe kan pitik? Itoe, anak ajam.

Maka, toegas saja adalah mentjari pitiek ini. Sampai ke oejoeng doenija poen saja tlah bertekad besi menemoekannja.

Dalam masa pekerdjaan ini, saja tlah berkorespondensi dengan anggauta Keboen Binatang Siloeman. Dengar-dengar, reputasi mata-mata mereka memang oke poenja. Toktjer, sodara. Ketoea mereka tlah merekomendasikan pada saja oentoek mengoetoes para belalang tempoer dan tjapung-tjapung imoet. Tetapi oentoek antisipasi, saja djoega pesan gerombolan tjlurut oentoek melantjarkan aksi. Menoeroet hemat saja, djalan bawah tanah akan mendjadi lebih aman bagi misi ini.

Dan malam ini, saja tengah menoenggoe berita dari para mata-mata. Mari kita lihat, siapa jang akan datang.

“Tjiit, tjiit, tjiit!!”

“Tjiit, tjiit, tjiit!!”

Nah ternjata, tjlurut jang lebih doeloe berhasil.

“Kemana teman-temanmoe jang lainnja?”

“Sebagian besar terboenoeh. Karena hinggap-hinggap, djadi digaploek oleh manoesia-manoesia bengis.”

“Sisanja?”

“Kesemprot pestisida, Bentjong.”

Ah, ja, baiklah. “Djadi, dimana roepanja pitiek itoe berada?”

“Di poelaoe sabrang. Masih di dalam teloer, dipelihara petani djagung.”

Ah, ja. Baiklah. Soepaja oeroesan tjepat selesai, baiknja tjepat-tjepat saja berangkat ke tanah Pak Tani. Lantas menumpang andong ajaib disoepiri Toean Potjong saja segera brangkat. Tjatatan: kalau andongnja disoepirin manoesia, maka tidak kan dapat menjebrangi laoetan loeas.


***


Esok, tanggal 26 Mei 1974. Teloer itoe akan menetas dan dalam beberapa hari si pitiek reinkarnasi Toean Ahmad Dhani akan tewas. Tentoe sadja, dengan tjara jang imoet. Karena saja Nanas Homo Hermaprodit Imoet.

“Toean Potjong, djam berapa roepanja kita akan tiba di tempat?”

Toean Potjong menganggoek-anggoek sebanjak empat kali. Berarti kami akan tiba pukul empat soeboeh jang mana tidak lama lagi. Saja djuga soedah tidak sabar lagi oentoek melihat si pitiek ini. Ingin tahoe tjemana roepanja setelah mati terboenoeh sebagai Amit Dani.

Eh, roepanja. Sambil menoenggoe tibanja andong Toean Potjong ini saja ketidoeran. Pastilah Toean Potjong ini bingoeng membangoenkan saja. Soalnja beliaoe tidak poenja tangan dan wajahnja tertoetoep kafan.

“Hmmpfh! Hmpfh! Mpfh! Mpfh!” Beliaoe bertreak-treak sambil lontjat-lontjat di atas andong. Bikin saja terdjoengkir dari tempat doedoek saja.

Saja memboeka mata disamboet terpaan angin soeboeh. Segar benar, di pedesaan pagi-pagi. Setelah meregangkan otot-otot, saja siap mentjuri teloer sasaran. Rumahnja tidak djaoeh dari tempat Toean Potjong parkir dia poenja andong.

“Toenggoe sebentar ja, Pak!”

Saja bergegas menghampiri rumah petani yang dimaksud Tjlurut. Soesah sekali roepanja oentoek masoek ke pekarangan. Pagarnja tinggi-tinggi betul. Saja teliti benar-benar pagarnja. Pasti ada tjelah oentoek nanas ukuran imoet seperti saja ini. Aha! Benar sadja. Saja temukan tjelah kecil. Tjukup oentoek tubuh bontet saja.

Saja segera menjelinap-jelinap. Pas liwat dapoer, saja dengar soedah ada soeara mengadoek-adoek. Rasanja Bu Tani soedah bangoen, bikin air minoem buat Pak Tani moengkin. Saja bergerak lebih tjepat. Mengetjek satoe per satoe kandang ajam Pak Tani. Soelit djuga rupanja mentjari teloer si pitiek ini. Khan bentuknja teloer sama sadja. Terpaksa saja haroes mengontak Ki Jambang Masygul dan Srikandi Bulu Jambon terlebih dahoeloe oentoek minta petoeah.

Mereka sama-sama bilang, “Jang teloernja ketjil sendiri!”

Dan ja, segera saja temoekan teloer itu di kandang paling bawah. Indoeknja mendelik sewot tapi demi misi, saja beranikan diri toek mentjolong teloer itu. Saja dipatoek! Sialan. Saja balas tempeleng itu ajam betina tidak tahoe diri! Beloem pernah rasa didjedjelin nanas mentah ja?! Huh, saja djadi sebel! Boeroe-boeroe nanas bawa itoe teloer. Biarkan sadja itu ajam betina koak-koak panggil madjikannja. Bersama andong Toean Potjong, saja poelang kembali ke pondok.


***


Sampainja di pondok, teloer ini saja beri tempat jang angat oentoek menetas dengan baik dalam beberapa djam lagi. Pasti lutju benar wajahnja ini. Sambil toenggoe, saja djalan-djalan pagi ke pasar teroes keliling-keliling kampoeng.

Pulangnja ...

“Tjiap! Tjiap!”

Ja tuhan! Si pitiek soedah menetas! Saja segera berlari menghampirinja. Disitoe, di antara retakan tjangkang teloer. Mengangkang si pitiek. Lutju sekali! Warnanja koening-kemoening seperti pitiek-pitiek lainnja.

Tapi kok ... Sedjak kapan pitiek bisa poenja djenggot?

Ih, djidjik. Masak ada djenggotnya. Matanja juga menjiratkan mata seorang boeaya darat. Hah! Kesalahan! Si pitiek gagal djadi lutju. Baiknja dikasih makan sadja tiga kali doeloe supaja agak sihat. Habisnja itu dimatiin sadja. Pasti penasaran dengan tjerita matinja si pitik ja?


***


Djadi. Saja telah menemoekan anak kecil paling broetal di kampoeng tempat saja tinggal ini. Namanja Koetil. Si Koetil ini akan membantoe saja mematikan si pitik.

“Koetil.”

“Ya Toean?”

“Kamoe maoe emas batangan enggak?”

“Boeat apa Toean?”

“Terserah maoe kamoe apakan.”

“Maoe banget kalaoe begitoe, Toean! Koetil djadi bisa bikin roemah germo.”

“Baiklah. Koetil. Pertanjaan kedoea.”

“Apa itoe, Toean?”

“Kamoe soeka enggak, kalaoe saja kasih doedoek di sofa jang bisa mentoel-mentoel?”

“Soeka sekali, Toean! Memangnja Toean punja?”

“Kemari, Nak.”

Saja adjak si Koetil ganteng ini ke roeang tamu. Soedah saja siapkan indomie goreng djika-djika anak pandai ini lapar.

“Tjoba dech Koetil, kamu doedoek disini. Empoek banget. Saja pesan chusus dari luar negeri. Kamoe pasti suka.”

Koetil doedoek disana. Dan moelai mentjoba saran saja. Benar sadja, Koetil soeka sekali.

“Wah Toean! Kalau saja poenja emas batangan, saja djuga ingin poenja sofa kayak ini di roemah saja!”

Kembali pantat si Koetil lontjat-lontjat di sofa. Menikmati benar roepanja dia.

“Ini djuga boeat saja, Toean?”

Koetil menjambar piring indomie di hadapanja. Bikin saja makin seneng.

“Tentoe saja, Nak! Makan jang banjak biar kamoe tjepat besar!”

Koetil makan dengan lahap. Tidak loepa saja beri dia minoem soesoe sapi.

Kemudian Koetil kembali doedoek di sofa baru saja. Pantatnja kembali lontjat-lontjat. Semangat benar! Sampai ketjapean.

“Koetil, saja tinggal sebentar jah? Dinikmati sadja sofanja.”

“Baiklah, Toean.”

Saja tinggalkan doeloe Koetil, ingin boeang air besar. Sekembalinja, tidak loepa saja bawakan emas batangan jang saja djandjikan pada Koetil. Lumajan, oentoek bantoe-bantoe perekonomian keloearga Koetil. Djuga, siapa tahu, Koetil bisa djadi germo keren.

“Koetil, ini emas batangan jang saja djandjikan tadi.”

Koetil menerimanja dengan senang hati. Oh, oh, betapa hati saja ikoet gembira melihat wadjah Koetil bertjahaja.

“Terima kasih, Toean!”

Koetil mentjium tangan saja lalu pamitan poelang. Saja antar dia sampai ke pekarangan. Djuga titip salam oentoek keloearga besarnja. Lantas saja kembali ke dalam. Ingin mengetjek pekerdjaan Koetil. Benar ataoe tidak anak itoe bekedja. Segera saja angkat bantalan sofa baroe saja.


***

Nah, tjoba tengok. Si pitiek Ahmad Dhani sudah djadi benjek gara-gara goyang heboh pantat Koetil.


T A M A T


Sunday, April 13, 2008

It's Time


Sastrawan-sastrawan Jahat are Back!

Thursday, April 10, 2008

19 Hidup Ahmad Dhani


Di cerita ini Ahmad Dhani sudah mati. Tenang, tenang. Orang “beragama” seperti Ahmad Dhani pasti tahu kalau yang namanya Pengadilan Akherat itu ada. Maka setelah mati akibat sifilis pada usia 61 tahun, di sinilah Dhani berada: Padang Mahsyar, antrean nomor 62.039.263.654.394.812. Jangan lupa, matahari cuma satu jengkal di atas kepalanya, dan dengan goblok dia mencak-mencak dalam hati, menyalahkan keluarganya yang tidak memberinya kacamata hitam dan tabir surya sebagai bekal kubur.

Manusia dengan nomor antrean 62.039.263.654.394.811 akhirnya selesai diadili. Ahmad Dhani kebat-kebit maju ke hadapan Tuhan. Pengennya sih protes, kenapa dia harus menunggu begitu lama, padahal di dunia para “wartawan” selalu memburunya untuk mendapatkan gosip terbaru. Tapi Tuhan terlalu agung, dan Ahmad Dhani cuma… well, Ahmad Dhani. Dia pun berdiri saja. Terdiam. Kakinya sudah bolak-balik meleleh akibat panas lantai dari logam yang ditambang khusus dari Jahanam (sekedar info, Padang Mahsyar bukan padang pasir, tapi padang logam). Meleleh, tumbuh lagi, meleleh, tumbuh lagi. Sudah hampir dua ribu kali kakinya meleleh dan tumbuh lagi, tapi Tuhan belum juga bicara padanya. Maka Dhani memberanikan diri untuk buka mulut.

“Tuhan, udah dong diemnya. Entah berapa milyar tahun sudah saya mengantri. Setelah sampai di sini kok malah dicuekin?”

“LANCANG!” Satu malaikat yang melayang-layang di sisi Tuhan murka besar, buktinya huruf-hurufnya besar semua. “KAMU PIKIR KAMU SIAPA BERANI-BERANINYA BICARA DULUAN?!”

Dhani gemeteran. “Saya Ahmad Dhani, pentolannya grup Dewa 19, Dewa, terus Dewa 19 lagi. Musisi, produser, juga tokoh di balik kelompok-kelompok penyanyi cewek seperti Ratu dan Dewi Dewi.”

“KURANG AJAR! MEMANGNYA TUHAN TIDAK TAHU?!”

“Terus kenapa Tuhan diam aja?”

“SEBAB TUHAN TERLALU JIJIK SAMA KAMU!”

“Kok jijik sih, Tuhan?”

“YA KARENA KAMU AHMAD DHANI!” Semua malaikat tereak serentak.

“Tapi saya kan rajin ibadah, sudah naik haji, selalu kasih sedekah, menghormati orang tua saya, dan… dan… Banyak lagi deh.”

“LALU MENURUT KAMU KENAPA TIMBANGAN INI JOMPLANG DI TAKARAN DOSA KETIMBANG PAHALA?” Malaikat tadi menunjuk neraca di depannya.

Ahmad Dhani terdiam. Ia melirik ke arah titian rambut dibelah tujuh. Manusia dengan nomor antrean 62.039.263.654.394.811 baru saja kepleset. Dhani pun meringis, pengen nangis, tapi air matanya telanjur kering akibat dehidrasi. “Ampun!” lantas teriaknya. “Jangan masukin saya ke neraka.”

“HEH! KAMU ITU PASTI MASUK NERAKA, TAPI NGGAK SERU KALAU KAMU MASUK NERAKA SEKARANG. ADA KEPUTUSAN LAIN BUAT KAMU.”

“Keputusan apa?”

“LEBIH OKE KALAU KAMU DIKEMBALIKAN KE DUNIA LAGI…”

Ahmad Dhani mendadak kegirangan, wajahnya berbinar-binar. “Terima kasih! Terima kasih!”

“JANGAN SENANG DULU, GOBLOK! SUDAH DIPUTUSKAN KALAU KAMU AKAN HIDUP DAN MATI DI SEMBILAN BELAS DUNIA PARALEL, DAN SEMBILAN BELAS KALI PULA KAMU AKAN HIDUP DAN MATI DENGAN TERSIKSA. KAMI SUDAH MEMILIH SEMBILAN BELAS SASTRAWAN TERJAHAT YANG AKAN MENULISKAN SEMBILAN BELAS RIWAYAT HIDUP BARU KAMU YANG PASTINYA PENUH DENGAN DERITA YANG AMAT SANGAT TERLALU SAKIIIIIIT SEKALI BANGET. SIAP?”

Mulut Ahmad Dhani menganga. Ia mengedip, dan ketika matanya membuka ia sudah berada di tempat lain. Tempat yang gelap dan becek. Sepertinya rahim. Soalnya riwayat hidup (baru) nomor 1 akan segera dimulai:


SINOPSIS RIWAYAT HIDUP (BARU) AHMAD DHANI #1
oleh Ki Jambang Masygul

Di Zakarata pada tanggal 26 Mei 1973, Dhani terlahir sebagai laki-laki yang tetap mirip Ahmad Dhani tapi dikasih nama Amit Dani. Bapak kuli pemabuk, dan ibu langsung meninggal lima detik setelah melahirkannya. Bapak yang tidak punya rasa kasih sayang dan tidak punya duit melemparnya ke tempat pembuangan sampah ketika usianya baru tiga belas hari. Lalu ia dipungut sama pemulung, dijual ke germo, dibesarkan di rumah bordil, kerap dimarahi dan ditempiling, dan pada usia 12 tahun di-test drive sama seorang tante yang mekinya bau amis. Kemudian Si Papi berkali-kali menawarkannya pada perempuan hidung belang dan berkali-kali pula bilang bahwa Amit masih perawan biar bayarannya mahal. Umur tujuh belas tahun Amit melarikan diri dan tak lama kemudian mendaftarkan diri sebagai calon TKL (di dunia paralel ini yang kebanyakan jadi pelacur dan dikirim kerja ke luar negeri adalah laki-laki). Umur delapan belas, setelah tinggal di asrama pelatihan yang sumpek dan kerap disodomi empat security, akhirnya Amit dapat lampu hijau untuk berangkat ke Malingsia.

Tapi nasib Amit memang sial. Majikannya, baik yang laki-laki maupun yang perempuan, memiliki jiwa sadokhis, jadi seneng banget menyiksanya. Setelah jambangnya dibikin masygul, Amit ditonjok, dicambuk, disayat, dihantamkan ke dinding, disiram air panas, disiram air anget, terus pas nyadar airnya anget mereka masak air sampai mendidih terus disiramkan lagi ke kepalanya si Amit, sampai tampang Amit yang pas-pasan jadi buruk rupa tiada tara, udah gitu jari-jarinya dipotong terus disuruh ngepel, matanya dicolok terus disuruh nyari kutu di badan anjing herder rabies piaraan si majikan, lidahnya dibakar terus disuruh ngejilatin knalpot motor yang masih panas sampai bersih. Merasa belum cukup sadis, majikannya kadang nyuruh si Amit main lompat tali di atas papan yang ditancepin paku berkarat. Kalo sedang nggak sadis, mereka menyuruh Amit membolak-balik ikan yang lagi digoreng pake hidungnya, atau paling-paling manjat pohon kaktus di halaman belakang. Iseng memang mereka, tapi mau gimana lagi, we’re talking about Amit Dani here!

Oh iya, si Amit juga nggak pernah dikasih makan. Jadi kalo laper dia terpaksa makan tokainya sendiri, kalau haus minum pipisnya sendiri. Kalau beruntung, Amit bisa nangkep kecoa atau laba-laba buat disantap. Tiap malem Amit digembok di kandang anjing, sementara si anjing tiduran di kamar pembantu sambil nonton tivi. Pada suatu malam Amit berdoa agar Tuhan mencabut saja nyawanya, maka Tuhan pun berbaik hati dengan mengirimkan banjir besar di seantero Malingsia. Amit yang terperangkap di kandang anjing mati kehabisan napas akibat kelelep. Tamat deh. Sekarang giliran Om Marquis de Sade untuk menuliskan riwayat kedua. Silakan, Om...

Monday, December 11, 2006

KALAU TITI KAMAL MAEN FILM PENDEK INDIE


oleh Pendekar Pemetik Bunga Kamboja.


Set:

villa murahan di daerah puncak, yang tarifnya ditawar tanpa perasaan


Costumes:

Titi Kamal (TK) : kemeja pink yang nggak banget, rok biru,

Pendekar Pemetik Bunga Kamboja (PPBK): seperti biasa, celana jeans & t-shirt

Anggota Sastrawan Jahat lain sebagai Figuran: seadanya yang melekat di badan, semampunya.


Property:

tempat tidur dengan seprei buluk, seikat tambang, rantai sepeda.


Scene 1 (PoV: TK)

"Kita perkosa saja rame-rame."
"Telanjangi, perkosa, potong tujuh..."
"...buang ke semak-semak."
"Gantung, diperkosa. Pokoknya 'salome'."
"Sodomi."
"Ah, dasar maniak."
Kulihat wajah-wajah itu seolah menjadi begitu liar.

Kedua lengan itu mendorong tubuhku dan menghempaskannya ke atas tempat tidur. "Siapa kamu!" dan histeriaku justru membuat lelaki itu tersenyum. Matanya yang menyipit menatapku dan lidahnya menjilat sedikit air liur yang menetes ke dagunya.
"Luar biasa cantiknya. Sungguh luar biasa."
Dan apakah itu menjadi alasanmu untuk menamparku dan merenggut kaus yanng menutupi tubuhku??
"Jangan...."
Tapi apakah ia akan merasa iba lalu mendadak memelukku dan menangis bersamaku? Tentu tidak setelah melihat ketelanjanganku. Tangannya bergerak dan giginya yang dingin menyentuh kulit buah dadaku. Lututnya menekan kakiku, tubuhnya terasa begitu berat, sehingga setiap rontaanku terasa begitu sia-sia.
"Tolong. Jangan lakukan ini."
Tangisan itupun terasa begitu percuma saat mulutnya menghisap puting payudaraku dan memberikan rasa perih di dadaku. Tangannya menahan kedua lenganku di atas kepala. Dengan kasar lelaki itu menyusupkan jemarinya ke balik celana dalamku dan menekan kemaluanku, membuatnya basah tanpa kehendakku.
"Ya Tuhan, kamu benar-benar menikmatinya."
Lelaki itu merenggut pula sisa-sisa penutup ketelanjanganku, jemarinya menusuk dan memainkan liang kemaluanku, membuatku merintih dan menggelinjang.
Dan segalanya menjadi gelap.
Gumam demi gumam menyusup di telingaku. Tanganku begitu tak berdaya dengan tali-tali ini. Dan pantatku terasa empuk dengan bantal yang menyangganya. Empuk dan sakit, saat penis-penis itu bergerak-gerak memenuhi kewanitaanku. Satu dan lainnya. Silih berganti. Begitu cepat. Begitu menyakitkan.
Gelap dan terang silih berganti.
Gigitan dan jilatan, cakaran dan remasan. Erangan dan rintihan kenikmatan.

Juga gelap dan terang.
Silih berganti.
Tolong aku.
Siapapun.

Scene 2 (PoV: PPBK)

Dan kutarik bajunya. Kancing-kancing itu berserakan di permukaan lantai. Kupandangi buah dada yang bergelayutan di depanku. Tanpa terasa air liurku menetes ke dagu. Gadis ini begitu menyelerakan. Kujambak poni di kepalanya yang terkulai dan kutarik ke atas. Dapat kurasakan nafas lembut itu. Ia masih hidup, dan itu sesuatu yang menggembirakan. Kuamati bibirnya yang berdarah dan kantung matanya yang lebam. Mempesona. Kucium bibir itu, menggigitnya dengan gemas. Dan darah semakin banyak mengalir. Anyir. Kubiarkan cairan kental itu memenuhi rongga mulutku. Perlahan mata gadis itu semakin berkerut sebelum akhirnya membuka. Seperti yang kuduga. Gadis itu menjerit keras-keras menyadari ketelanjangannya. Menyenangkan.

Kujilat bibir bawahnya serentak memegangi kepalanya supaya tidak berpaling. Gadis itu menggeliat, mencoba meronta melepaskan belenggu di tangannya. Tapi tentu saja usaha yang sia-sia. Kuangkat rok biru gadis itu. Pahanya yang tercancang membuka, membuatku leluasa untuk menyentuh dan memainkan lipatan vaginanya. Gadis itu melenguh dan jejak-jejak air mata mulai tampak di pipinya yang lembut.
Aku semakin bergairah saat gadis itu mengerang. Kuangkat tubuhku dan berdiri di belakangnya. Kubuka retsleting celanaku dan membiarkan penisku yang menegang keluar. Gadis itu terus menggeliat. Menggeliat saat kutarik celana dalamnya menelusuri kulit kakinya yang putih mulus. Kugenggam penisku, menggerakkannya dengan cepat. Kurasakan nafsu sudah mencapai ubun-ubun kepalaku. Kujulurkan jemariku dan meraba liang vagina gadis itu. Si gadis meronta, mengejang sesaat, mengerang dan menjerit. Namun aku terlalu bergairah untuk memperhatikan ceceran darah di lantai yang membentuk pola tak menentu. Dengan gerakan perlahan kuturunkan pinggulku dan menyusupkan batang penisku di lipatan pahanya. Gadis itu menjerit tertahan dan berusaha memalingkan wajahnya ke belakang. Matanya mendelik menatap senyumku. Aku menyukai kengerian yang terpancar darinya. Kulihat butir keringat mulai keluar dari pori-pori di kulit pantatnya. Indah sekali. Geraman dan desahan keluar dari bibirku. Nikmat sekali. Gadis itu masih berusaha menggoyangkan pinggulnya ke kiri dan ke kanan. Masih berusaha menghindar. Tapi tidakkah itu justeru menambah kenikmatan yang kurasakan di ujung penisku ?
Tubuh gadis itu mulai melemas. Gemerincing rantai memenuhi ruangan. Hasratku semakin memuncak.

Scene 3 (PoV: Bird’s Eye, atau bisa siapa saja)
Mobil jenazah RS PMI Bogor dengan sirine meraung-raung, ngebut di tengah hujan.

TAMAT. Lalu Credit Title deh.

Selebriti Jam-bret!

by Jumadi Pendekar Gelegar Disko Kencana


Akhir-akhir ini saya merasa kesal ketika melihat acara Selebriti Jam di salah satu TV nasional. Kalau ada yang tidak tahu itu acara apa, itu acara paling tidak kompeten untuk manusia yang tidak kompeten di bidang tarik suara. Masalah kompetensi di sini sangat serius karena saya juga manusia yang mempunyai hak asasi atas hiburan yang berkualitas (bukannya yang merusak otak, mata, dan telinga saya!). Moral penerus bangsa juga dipertaruhkan karena mereka harus menyaksikan ketololan-ketololan para selebritis yang benar-benar bersalah karena berani mempertontonkan 'hal-hal memalukan' mereka di depan TV!

Hal-hal memalukan itu adalah: memasangkan penyanyi dan non penyanyi untuk menyanyi di depan umum dalam keadaan tidak mabuk saja sudah merupakan hal memalukan, apalagi kalau yang non penyanyi juga selebritis! seperti biasa, selebritis yang goblok adalah selebritis yang mau-mau aja dimalu-maluin di depan TV. Udah gitu, selebritis yang penyanyi juga mau-mau aja dipertaruhkan namanya saat disandingkan dengan selebritis gak bisa nyanyi. Dengan segala hormat, Om Harvey Malaiholo... situ kan penyanyi top bersuara emas, kenapa bisa khilaf? Om lagi nggak kurang duit kan????

Memasangkan penyanyi yang gak bisa nyanyi dengan non penyanyi. DIA AJA UDAH GAK BISA NYANYI KOK NEKAT dan SOTOY banget?! Lihat aja manusia-manusia macam Nafa Urbach, atau Saeful Jamil yang jijiG itu (neng nafa dan syamsul sudah dalam daftar bunuh-red). Belum lagi, yang paling memilukan bagi saya adalah dipasangnya Setiawan Djody sebagai juri... Haduh gusti paringono ekstasi... Setiawan Djody nggak bisa nyanyi kok jadi juri nyanyi? Ini kesalahan paling besar setelah memasang Dimas Djay dan mutia kasim yang sok judes tai kotok itu jadi juri indonesian idol.

Banyak selebritis yang sudah nggak laku saat ini. Mereka kalah ngetop dan daya jualnya kurang dibanding da'i-da'i muda (baca: tai-tai muda) yang bertebaran dan belum ngerti caranya masturbasi tapi udah ngelarang orang masturbasi (situ oke coy?!?!?!). Banyak orang yang seharusnya tidak menjadi selebritis akhirnya menjadi selebritis hanya karena rajin berdoa atau terlibat dalam video mesum dengan penis sekecil pinsil ujian. Cari gara-gara adalah cara cepat dan tepat menjadi selebritis karbitan. Seperti hamil tapi nggak ada yang hamili (spooky bgt...), hamil tapi gak diakuin, hamil sama babi, atau hamil-hamilan biar dapet pengakuan. Atau yang paling gres adalah poligami!! Berprofesilah sebagai da'i, ngeguruin orang sana-sini dan berlakulah sebagaimana layaknya nabi, lalu kawin lagilah! Niscaya anda akan semakin beken dengan ketidakkompetensian anda!

Ah...banyak sekali yang kepingin beken, padahal jadi beken itu tidak selalu enak! Contohnya saya. Sebagai Pendekar Gelegar Disko Kencana, saya tidak meminta untuk menjadi tenar, tapi karena kompetensi saya di lantai dansalah yang akhirnya membuat saya diingat dalam benak semua khalayak lantai dansa. Saya selalu ditunggu di malam minggu untuk memanaskan lantai dansa, dicekokin jekdi agar saya dapat menemukan gaya-gaya disko baru, sampai harus pualng pagi setiap akhir pekan melupakan jemuran hanya untuk menyenangkan beautiful crowd yang sudah menanti saya di lantai dansa! Mengharukan dan membanggakan bukan?

Saran Pendekar Gelegar Disko Kencana sih...ada baiknya jika kita melakukan hal-hal yang sesuai dengan kompetensi kita. Kalau memang cuma kompeten menjual syahwat, ya jualanlah dengan baik, nggak usah nyaru jadi selebritis, apalagi nyaru jadi penyanyi! Iya nggak seehh...?? Seperti kata pepatah, orang jujur itu disayang Tuhan dan banyak rejeki! Ngalkhamdulillah...



Salam dansa,

Jumadi, Pendekar Gelegar Disko Kencana

Monday, November 27, 2006

Ram Punjabi: Rakhee Lentera Hidup Saya!

Oleh: Pendekar Air Mata Menghunjam


Malam ini Tuan dan Nyonya Punjabi melangkahkan kaki keluar dari penthouse mereka yang supermahal dan supernorak.
“Acaaa...Rakheee...Kita jadi terlambat kan ke acara Piala Citra. Ini gara-gara kamu sibuk sasak rambut aaaa....”
“Acaaa...Tapi kalau tidak disasak kan lepek. Saya kan sudah hampir botak aaaa...” Jawab Rakhee sambil menggelengkan kepalanya. Sambil menggeleng-gelengkan kepala mereka memasuki mobil mewah mereka yang nangkring di depan lobi hotel.
“Acaaa...Supir, bawa kita cepat-cepat, aaaa...Ini sudah terlambat!”
Tanpa menyahut supir itu menjalankan mobil. Namun, bukannya ke tempat penyerahan Piala Citra, mobil tersebut malah berbelok ke jalanan sunyi. Berjalan kencang sampai akhirnya tiba di sebuah tempat sepi dengan sebuah rumah besar yang terletak di antara tebing-tebing.
“Acaaa....ini di manaa...aa...?” Tanya Rakhee cemas sambil memegangi rambutnya, “kita harus ke Piala Citraaa...aaaa...sudah sasak capek-capek.”
Sekali lagi Si Supir tidak menyahut, ia justru membalikkan badannya menghadap mereka, lalu membenturkan kepala keduanya satu sama lain. Kepala Rakhee yang sekeras tembok akibat sasakan secara teratur selama bertahun-tahun meninggalkan benjolan ungu kebiruan sebesar telur itik di kening Raam. Mereka pun pingsan.
Ketika sadar, mereka menemukan diri mereka terduduk di sebuah sofa usang penuh kutu dan debu, di tengah sebuah ruangan yang remang-remang.
“Hatsyiii....Acaaaa....Banyak debu aaa..aaa...Nempel di make up saya...” Rewel Rakhee...
“Acaaa...Kamu cerewet aaa...aaa ...Ini rambut saya sudah penuh kutu, sampai bulu-bulu tangan, kaki, sama dada saya aaa...aaa...” Raam balas merengek.
“Makanya, di-Brazilian Wax, dong!” Sebuah suara tiba-tiba terdengar.
Kedua Punjabi terkejut dan mengangkat kepala mereka. Di depan mereka berdiri sepuluh orang yang dibayangi sinar lampu temaram. Yap, merekalah gerombolan Sastrawan Jahat.
“Kalian di bawa ke sini atas kejahatan yang telah kalian lakukan.” Pendekar Air Mata Menghunjam membuka suara, “kejahatan atas perbuatan kalian terhadap siaran televisi di Indonesia.”
“Isinya cuma mata melotot!” Kata Nanas Homo.
“Orang teriak-teriak!” Gadis Berpedang Dari Bukit Imagure menyahut.
“Sama cerita nggak mutu!” Ki Jambang Masygul menimpali.
“ABCDEF!” Seru Tukang Kredit Gamis nggak maksud.
“Pokoknya kalian harus dihukum,” Jenggot Sakti dari Bukit Tian-Shan berkata, “hukumannya adalah kalian harus berlari menelusuri terowongan yang gelap dan harus keluar dengan selamat.”
“Tidak boleh ada penerangan, kecuali dari Rakhee.”
Gerombolan Sastrawan Jahat segera mengangkat kedua Punjabi ke mulut gua.
“Kalo kalian nggak pengen mati di sini, lari!”
“Tapi sebelumnya...” Srikandi Bulu Jambon mengambil korek dan menyalakan api di rambut megalomannya Rakhee.
“Kalo pengen Rakhee selamat, bawa dia lari sampe ujung terowongan!”
Maka Raam pun mengangkat Rakhee dan berlari memasuki terowongan, tanpa mereka sadari di sepanjang terowongan sudah dipasangi kamera night vision, mikrofon, dan speaker sehingga Gerombolan Sastrawan Jahat bisa memantau mereka.
Baru beberapa puluh meter nafas Raam sudah tersengal-sengal karena rambut Rakhee yang sekeras beton menambah berat beberapa kilogram, selain itu Rakhee sibuk meronta-ronta sambil menjerit-jerit.
“Acaaa...!!! Acaaaa....!!! Rambut saya...aaa...sudah mahal-mahal supaya bisa keliatan seperti Lion King aaa..aaa...!!!”
“Acaaa...kayanya saya memang harus ikut olahraga aa...aaa...” Raam tertatih-tatih, “kamu berat sekali, itu semua duit kita larinya ke rambut kamu.”
“Ayo, jangan lelet! Ntar keburu istri lu gosong!!!” terdengar suara dari mikrofon.
“Acaaa...saya tidak kuat. Saya bayar kamu saja. Mintanya apa? Mau main di sinetron saya?”
“Enak aja! Lu kate gue mau? Lagian kamera sinetron lu jelek, tiap kali di-zoom, jerawat pemainnya selalu keliatan.”
“Kagak lagi,” sahut suara yang lain, “make up-nya ketebelan, jadi kalo di-zoom permukaan kulitnya kayak tembok. Apalagi kalo keringetan, ampe luntur-luntur gitu. Hihi...”
“Acaaa...Atau kamu mau Piala Citra? Saya bisa beliin, loh. Tapi bukan emas beneran.”
“Citra... Citra! Gue udah make! Lulur Citra Green Tea dengan khasiat teh hijau sebagai antioksidan bagi kulit yang lelah dan kusam!”
“Ogah, la yaw! Lari, sana!”
Raam pun berlari lagi, sementara itu rambut Rakhee sudah terbakar habis. Api mulai membakar kulit kepalanya, sebentar lagi bakalan ke kulit mukanya.
Raam ngos-ngosan, badannya sudah banjir keringat, tapi terowongannya nggak selesai-selesai. Kulit muka Rakhee mulai meleleh dan mengeluarkan bau seperti ember yang dibakar.
“Acaa...Rakhee...Kamu sudah saya bilang jangan terlalu banyak operasi plastik, itu lelehannya kena jas mahal sayaaa...aaa...”
“Acaa...hhhmmmfff..ggrrffwwlll....” Omongan Rakhee udah nggak jelas karena mulutnya juga mulai meleleh.
Dalam beberapa menit saja kepala Rakhee sudah meleleh dan badannya juga mulai terbakar, kali ini mengeluarkan bau seperti sedotan gosong. Raam terus berlari dengan keringat bercucuran seperti air bah. Ia kemudian melihat seberkas sinar di ujung terowongan. Pintu keluar! Makin dekat, sinar itu makin jelas, dan itu memang ujung terowongan. Lari Raam pun semakin kencang.
Raam berlari seolah sedang menyaingi The Flash, ia melempar tubuh Rakhee ke belakang. Dia lari sampai ujung trowongan.
“Horeee....!!! Acaaa...aaaAAAAAAAAAAAHHH.....!!!!!”
Ternyata ujung terowongan itu menuju sebuah jurang kecil. Raam pun terjun bebas dengan tidak anggunnya.
Blugh! Raam terjatuh ke dalam sebuah panci besar berisi beras, kunyit, lada, kapulaga, santan, dan bubuk cabe. Ia megap-megap ingin memanjat keluar panci tersebut, tapi berasnya terlalu licin oleh santan sehingga ia selalu terjatuh kembali. Kemudian ia terbelalak walaupun matanya sudah berair karena bubuk cabe dan lada karena melihat selembar adonan roti raksasa menyelimuti mulut panci.
Raam berteriak, namun segera tersumpal oleh adonan roti itu, dan panci pun dimasukkan ke oven untuk dimasak menjadi biryani.*

* Untuk porsi 50 orang. Hati-hati tersedak rambut dan bulu-bulu.

Wednesday, November 15, 2006

Lintah


Oleh Ki Jambang Masygul

Ini bukan meniru cerpen “Lintah” karya Djenar Maesa Ayu. Cerpennya memang oke, sayang penulisnya patut dibasmi. Tapi kita tidak akan membasmi Djenar kali ini. Belum saatnya. Ngomong-ngomong soal Djenar, harus kita akui bersama bahwa writer slash celebrity slash whore yang satu itu memang seksi. Banget, malah. Nah, tokoh yang akan kita bunuh kali ini sangat gemar akan wanita-wanita asoy. Dia akan melakukan apa saja demi mendapatkan mereka, termasuk dengan mengajar mengaji mulai tengah malam hingga subuh tiba.

Mari, kita rayakan kematian Rhoma Irama.

Kisah dimulai ketika saya datang ke studio Soneta Group untuk menculiknya. Ketika saya datang dia sedang asyik menyetem gitar. Saya masuk dan berteriak, “Ane mau nyulik Rhoma Irama. Siapa yang keberatan?” Seperti yang sudah direncakan, tidak ada satu pun anggota Grup Soneta yang mengangkat tangan. Bang Rhoma memandangi mereka satu per satu, heran karena tak ada yang membelanya. Maka saya bilang, “Ah, nggak usah heran, Bang Haji. Selama ini di Grup Soneta yang dikenal sebagai selebriti kan ente doang. Ente sok dahsyat sih, ampe anggota-anggota Soneta yang lain diabaikan status selebritinya, bahkan di dunia dangdut yang sok meriah sendiri. Di film-film, selalu ente yang jadi jagoan. Yang berdiri paling depan dalam menyampaikan nada dan dakwah juga cuman situ. Yang lain selalu ketutupan bayang-bayang kebesaran Haji Rhoma Irama. Saya datang ke sini juga karena salah satu anggota Grup Soneta ngirim surat ke Sastrawan Jahat, minta supaya ente dibunuh aje. Udah yuk, Bang, ikut aye sekarang.”

Rhoma Irama bangkit dengan gagahnya. Dia buka baju, memamerkan bulu dadanya yang bergoyang ditiup AC. “Ke sini lu kalo berani!” tantangnya. Saya berjalan mendekat. Bang Rhoma membelalak. Ke arah saya dia berlari gesit, meskipun pernah kena stroke. Saya nggak mau kalah dong. Saya keluarkan pistol imut kesayangan saya dan langsung saya tembak tempurung lututnya. “AAAAAAAAAAH,” teriak Bang Rhoma. Saya ambil sapu tangan yang sudah dibasahi chloroform dari dalam kantong celana, kemudian saya bekap hidungnya sampai dia tak sadarkan diri.

“Nih, Dek, biar kagak susah ngebawanye.” Salah seorang personel Soneta memberi saya gerobak sorong. Dia juga membantu saya mengangkut tubuh Bang Haji hingga ke mobil. Lantas kendaraan saya kemudikan dengan santai ke markas Gerombolan Sastrawan Jahat yang berada di tengah-tengah komplek perumahan Kenanga Biru.

Sesampainya di garasi, saya buka celana Rhoma Irama biar telanjang sekalian, lalu saya ikat tubuhnya dengan plester superlengket sampai dia hanya bisa menggeliat-geliat. Efek obat bius mulai hilang. Segera saya sumbat mulutnya dengan dildo yang meniru penis Jeff Palmer supaya dia tidak berteriak histeris. Kan repot kalau tetangga-tetangga sampai mendengar teriakan di siang bolong. Sebagai sentuhan terakhir, saya ambil pisau silet kemudian dengan laknat saya cukur jambang Bang Rhoma yang aduhai lebatnya sampai terlihat masygul.

Tukang Kredit Gamis yang sudah menanti-nanti kedatangan saya membantu mengangkatkan tubuh Bang Haji ke dalam, langsung ke ruang sidang Dewan Sastrawan Jahat. Di sana sudah berkumpul semua anggota Sastrawan Jahat kecuali Kyai Asbak Berlumut dan Srikandi Bulu Jambon yang memang berdomisili di daerah lain. Laki-laki Berkuteks Darah, Nanas Homo, Gadis Berpedang dari Bukit Imagure, Si Jenggot Sakti dari Gunung Tian-Shan, dan Pendekar Air Mata Menghunjam duduk melingkar di sofa menghadapi sebuah akurium besar. Akuarium besar itu khusus saya pesan untuk menghabisi Rhoma Irama agar kematiannya tampak elegan. Di dalamnya tampaklah lintah-lintah berbagai ukuran dan warna (rata-rata sih item sama coklat) sedang menempel di kaca atau berenang-renang gaya geal-geol. Lintah-lintah ini saya beli dari seorang agen binatang penghisap darah di Pasar Siksa Segala, pasar langganan gerombolan Sastrawan Jahat.

“Cepat amat lu balik?” tanya Pendekar Air Mata Menghunjam. “Kami mau nonton DVD dulu nih.”

“Nyindir nih ye. Tenanglah, Pendekar Air Mata Menghunjam, penantianmu bakal setimpal dengan tontonan yang akan segera kau saksikan. Tolong, kalian bukakan penutup akuarium itu. Laki-laki Berkuteks Darah, jangan ngutekin kuku melulu dong. Bantu aku mengangkat Bang Rhoma.”

Setelah yang lain membuka tutup akuarium, Tukang Kredit Gamis dan Laki-laki Berkuteks Darah membantu saya mengangkat tubuh Bang Rhoma dan menceburkannya ke dalam akuarium.

“Anjrit, airnya nyiprat ke lantai tuh. Lintah-lintahnya ada yang ikut jatoh!” pekik Gadis Berpedang dari Bukit Imagure yang agak-agak geli sama lintah, kecuali lintah suaminya, hihihi. Peace, Gadis Berpedang dari Bukit Imagure, jangan tebas jambangku yang telanjur masygul ini.

Dengan pinset saya masukkan kembali belasan lintah yang tercecer di lantai. Tutup akuarium dipasang kembali. Kami semua duduk manis di sofa, menyaksikan tubuh Rhoma Irama bergoyang-goyang di dalam akuarium. Pantatnya tampak sedang ngebor a la Inul Daratista. Lintah-lintah mulai mengerumuni tubuhnya yang telanjang. Pendekar Air Mata Menghunjam membagikan pop corn buat kami semua. Nanas Homo bangkit dari sofa lantas mulai berjalan mengelilingi akuarium.

“Ih, ada yang nempel di kontolnya lho. Hiii, kayaknya mau masuk lewat pucuknya tuh. Waaa, lubang silitnya penuh. Kayaknya ada lima puluhan ekor deh di situ.”

Tentunya tak hanya di sekitar daerah-daerah cabul Bang Rhoma binatang-binatang penghisap darah itu bersantap siang. Mereka mengerumuni badannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ada yang masuk ke dalam lubang hidung, ada yang masuk lewat telinga. Tak ada yang satupun yang lepas meski gerakan ngebor Rhoma Irama makin menggila.

Saya perhatikan ikatan di sekujur tubuh korban kami mulai mengendur. Plesternya pasti tidak tahan air. Satu per satu kami berdiri. Bang Haji berhasil melepaskan seluruh ikatan di badannya. Ia mendorong tutup akuarium hingga tergeser dan jatuh pecah berkeping-keping di lantai. Ia berdiri, tubuh berkerubung lintah. Ia cabut dildo dari mulutnya lalu mulai berteriak. "Huanjiiing!" katanya. Tapi dia tak bertahan lama, karena saya ambil pistol mungil saya lalu saya tembak buah zakarnya. Rhoma Irama memengangi selangkangannya. Ia terduduk di dalam akuarium. Lintah-lintah terus mengerumuninya.

“Hhh, bosen nih,” ujar Laki-laki Berkuteks Darah. “Jalan yuk.”

“Jalan ke mana?”

“Ke mall aja. Ngadem,” usul Tukang Kredit Gamis.

“Terus Bang Rhoma?” tanya Gadis Berpedang dari Bukit Imagure.

“Udah biarin aja dia di sini dulu. Kasihan tuh lintah-lintahnya masih laper.”

“Oh ya udah. Yuk deh. Ntar di mall aku traktir es krim.”

“Asyiiik!”

Tuesday, November 14, 2006

Punjabi dan Degradasi Moral Pertelevisian Indonesia


Oleh: Pendekar Air Mata Menghunjam


Apa moral yang kita dapat setelah menonton sinetron yang berjamuran di televisi Indonesia?
1. Tuhan membenci kaum gay
2. Para kyai memiliki profesi sampingan sebagai dukun/mantri kesehatan yang secara ajaib mampu menyembuhkan apapun. Apapun! Mulai dari homoseksualitas sampai dengan penyakit lepra.
3. Ibu tiri dan nyonya-nyonya kaya akan awet abadi oleh hairspray dan eyeshadow supertebal
4. Bantuan Tuhan akan datang kepada seorang lemah berparas jelita, tidak pernah kepada seorang lemah berparas pas-pasan.
5. Trend pembicaraan terbaru yang memelototkan mata dan menaikkan volume suara sampai beberapa desibel.

Inikah Indonesia yang selalu ingin kita lihat? Apa yang sebenarnya ingin disampaikan? Kenapa orang mau menontonnya? Jawabannya: karena nggak ada tontonan lain di televisi. Daripada mati garing lebih bai nonton acara tv yang nggak mutu. Tampaknya perlu dibuat peribahasa yang baru "Orang bijak lebih memilih mati garing daripada nonton sinetron".

Mungkin cukup benar apabila kita menuduh keluarga Punjabi sebagai pihak yang bertanggung jawab ata keterbelakangan mutu tayangan-tayangan di televisi kita. Mungkin pada awalnya mereka bercita-cita luhur ingin membuat tayangan yang dapat menyaingi Bollywood, tapi sayangnya gagal. Setidaknya dengan mengesampingkan tarian dan nyanyian, para aktor dan aktris Bollywood itu pada bisa akting. Nggak sekedar jual tampang yang baru muncul di satu atau dua iklan. Bukan iklan yang bagus pula.

Nggak ada hikmah yang bisa diambil selain menjadikan kita sebagai masyarakat yang superfisial dan hanya melihat di permukaan kulit yang indo tanpa peduli apa otaknya emang berisi otak atau sekedar kotoran. Kasian sekali ya masyarakat kita, setiap hari, siang dan malam selalu dicuci otak dengan tayangan yang nggak bermutu. Wajar aja kalo kita nggak pernah maju.

Ram dan Rakhee! Paling nggak kalian harus mikir selera masyarakat, jangan dipaksa buat ngikutin selera kalian yang supernorak itu ! (Kamar mandi bermotif macan tutul? Tolong dong! Nggak bangeeettt...!!)

NB: saya sebenarnya cukup kagum dengan Rakhee. Dia setiap hari mengalami bad hair day tapi tetap pe-de. Buat yang satu ini, salut deh.