Set:
villa murahan di daerah puncak, yang tarifnya ditawar tanpa perasaan
Costumes:
Titi Kamal (TK) : kemeja pink yang nggak banget, rok biru,
Pendekar Pemetik Bunga Kamboja (PPBK): seperti biasa, celana jeans & t-shirt
Anggota Sastrawan Jahat lain sebagai Figuran: seadanya yang melekat di badan, semampunya.
Property:
tempat tidur dengan seprei buluk, seikat tambang, rantai sepeda.
Scene 1 (PoV: TK)
"Kita perkosa saja rame-rame."
"Telanjangi, perkosa, potong tujuh..."
"...buang ke semak-semak."
"Gantung, diperkosa. Pokoknya 'salome'."
"Sodomi."
"Ah, dasar maniak."
Kulihat wajah-wajah itu seolah menjadi begitu liar.
Kedua lengan itu mendorong tubuhku dan menghempaskannya ke atas tempat tidur. "Siapa kamu!" dan histeriaku justru membuat lelaki itu tersenyum. Matanya yang menyipit menatapku dan lidahnya menjilat sedikit air liur yang menetes ke dagunya.
"Luar biasa cantiknya. Sungguh luar biasa."
Dan apakah itu menjadi alasanmu untuk menamparku dan merenggut kaus yanng menutupi tubuhku??
"Jangan...."
Tapi apakah ia akan merasa iba lalu mendadak memelukku dan menangis bersamaku? Tentu tidak setelah melihat ketelanjanganku. Tangannya bergerak dan giginya yang dingin menyentuh kulit buah dadaku. Lututnya menekan kakiku, tubuhnya terasa begitu berat, sehingga setiap rontaanku terasa begitu sia-sia.
"Tolong. Jangan lakukan ini."
Tangisan itupun terasa begitu percuma saat mulutnya menghisap puting payudaraku dan memberikan rasa perih di dadaku. Tangannya menahan kedua lenganku di atas kepala. Dengan kasar lelaki itu menyusupkan jemarinya ke balik celana dalamku dan menekan kemaluanku, membuatnya basah tanpa kehendakku.
"Ya Tuhan, kamu benar-benar menikmatinya."
Lelaki itu merenggut pula sisa-sisa penutup ketelanjanganku, jemarinya menusuk dan memainkan liang kemaluanku, membuatku merintih dan menggelinjang.
Dan segalanya menjadi gelap.
Gumam demi gumam menyusup di telingaku. Tanganku begitu tak berdaya dengan tali-tali ini. Dan pantatku terasa empuk dengan bantal yang menyangganya. Empuk dan sakit, saat penis-penis itu bergerak-gerak memenuhi kewanitaanku. Satu dan lainnya. Silih berganti. Begitu cepat. Begitu menyakitkan.
Gelap dan terang silih berganti.
Gigitan dan jilatan, cakaran dan remasan. Erangan dan rintihan kenikmatan.
Juga gelap dan terang.
Silih berganti.
Tolong aku.
Siapapun.
Scene 2 (PoV: PPBK)
Dan kutarik bajunya. Kancing-kancing itu berserakan di permukaan lantai. Kupandangi buah dada yang bergelayutan di depanku. Tanpa terasa air liurku menetes ke dagu. Gadis ini begitu menyelerakan. Kujambak poni di kepalanya yang terkulai dan kutarik ke atas. Dapat kurasakan nafas lembut itu. Ia masih hidup, dan itu sesuatu yang menggembirakan. Kuamati bibirnya yang berdarah dan kantung matanya yang lebam. Mempesona. Kucium bibir itu, menggigitnya dengan gemas. Dan darah semakin banyak mengalir. Anyir. Kubiarkan cairan kental itu memenuhi rongga mulutku. Perlahan mata gadis itu semakin berkerut sebelum akhirnya membuka. Seperti yang kuduga. Gadis itu menjerit keras-keras menyadari ketelanjangannya. Menyenangkan.
Kujilat bibir bawahnya serentak memegangi kepalanya supaya tidak berpaling. Gadis itu menggeliat, mencoba meronta melepaskan belenggu di tangannya. Tapi tentu saja usaha yang sia-sia. Kuangkat rok biru gadis itu. Pahanya yang tercancang membuka, membuatku leluasa untuk menyentuh dan memainkan lipatan vaginanya. Gadis itu melenguh dan jejak-jejak air mata mulai tampak di pipinya yang lembut.
Aku semakin bergairah saat gadis itu mengerang. Kuangkat tubuhku dan berdiri di belakangnya. Kubuka retsleting celanaku dan membiarkan penisku yang menegang keluar. Gadis itu terus menggeliat. Menggeliat saat kutarik celana dalamnya menelusuri kulit kakinya yang putih mulus. Kugenggam penisku, menggerakkannya dengan cepat. Kurasakan nafsu sudah mencapai ubun-ubun kepalaku. Kujulurkan jemariku dan meraba liang vagina gadis itu. Si gadis meronta, mengejang sesaat, mengerang dan menjerit. Namun aku terlalu bergairah untuk memperhatikan ceceran darah di lantai yang membentuk pola tak menentu. Dengan gerakan perlahan kuturunkan pinggulku dan menyusupkan batang penisku di lipatan pahanya. Gadis itu menjerit tertahan dan berusaha memalingkan wajahnya ke belakang. Matanya mendelik menatap senyumku. Aku menyukai kengerian yang terpancar darinya. Kulihat butir keringat mulai keluar dari pori-pori di kulit pantatnya. Indah sekali. Geraman dan desahan keluar dari bibirku. Nikmat sekali. Gadis itu masih berusaha menggoyangkan pinggulnya ke kiri dan ke kanan. Masih berusaha menghindar. Tapi tidakkah itu justeru menambah kenikmatan yang kurasakan di ujung penisku ?
Tubuh gadis itu mulai melemas. Gemerincing rantai memenuhi ruangan. Hasratku semakin memuncak.
Scene 3 (PoV: Bird’s Eye, atau bisa siapa saja)
Mobil jenazah RS